Kamis, 17 November 2016

Pengantar Hukum Indonesia mengenai Perkawinan UU No.1 tahun 1974

Pertanyaan Mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia

1.      Apakah yang di maksud dengan perkawinan?
Jawab : Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.
2.      Apa tujuan perkawinan?
Jawab : Bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.
3.      Apa yang menjadi syarat sah nya perkawinan?
Jawab :  Syarat sahnya suatu perkawinan dalam KUHPerdata, ialah :
a. Kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-undang, yaitu bagi laki-laki 18 tahun dan bagi perempuan 15 tahun.
b. Harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak
c. Untuk seorang perempuan yang telah kawin harus lewat 300 hari dahulu setelah putusnya perkawinan pertama
d. Tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua belah pihak
e.Untuk pihak yang masih dibawah umur harus ada izin dari orangtua atau walinya.

4.      Apa asas perkawinan?
Jawab:
Ø  Asas-asas perkawinan menurut KUHPerdata,ialah;
a.Asas monogami. Asas ini bersifat absolut/mutlak, tidak dapat dilanggar.
b.Perkawinan adalah perkawinan perdata sehingga harus dilakukan di depan pegawai catatan sipil.
cPerkawinan merupakan persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di bidang hukum keluarga.
d.Supaya perkawinan sah maka harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undang-undang.
e.Perkawinan mempunyai akibat terhadap hak dan kewajiban suami dan isteri.
f.Perkawinan menyebabkan pertalian darah.
g.Perkawinan mempunyai akibat di bidang kekayaan suami dan isteri itu.


Ø  Asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974:
a.     Asas Kesepakatan (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), yaitu harus ada kata sepakat antara calon suami dan isteri.
b.    Asas monogami (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974). Pada asasnya, seorang pria hanya boleh memiliki satu isteri dan seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami, namun  ada perkecualian (Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974), dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 4-5.
c.     Perkawinan bukan semata ikatan lahiriah melainkan juga batiniah.
d.    Supaya sah perkawinan harus memenuhi syarat yang ditentukan undang-undang (Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974).
e.     Perkawinan mempunyai akibat terhadap pribadi suami dan isteri.
f.     Perkawinan mempunyai akibat terhadap anak/keturunan dari perkawinan tersebut.
g.    Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta suami dan isteri tersebut.

5.      Apakah poligami di perbolehkan?
Jawab : Sebenarnya poligami di perbolehkan dangan syarat –syarat tertentu seperti yang di jelaskan dibawah ini. UU No. I/1974 menganut asas monogamy tidak mutlak. Hal tersebut dapat kita lihat dari isi Pasal 3 sebagai berikut:
1.      Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Sedang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2.      Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan
Ijin pengadilan diberikan kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari satu orang apabila memenuhi syarat fakultatif dan syarat kumulatif.
Syarat fakultatif adalah syarat yang terdapat dalam pasal 4 ayat (2) yaitu:
1.      Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
2.      Istri mendapat cacat badan/atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3.      Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Sedangkan syarat kumulatif terdapat pada pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan:
1.      Adanya perjanjian dari istri/istri-istri
2.      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
3.      Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Jadi seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang harus memenuhi salah satu syarat fakultatif dan semua syarat kumulatif yang telah ditentukan oleh undang-undang. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga menganut asas monogamy, tapi monogamynya adalah mutlak. Hal ini dapat disimpulkan dari pasal 27 dan 28 KUHPerdata yang menyatakan bahwa asas perkawinan adalah monogamy serta menganut adanya asas kebebasan kata sepakat di antara para calon suami istri, melarang adanya poligami.
6.      Akibat hukum perkawinan?
Jawab: Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami istri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan.
a.    Akibat Perkawinan Terhadap Suami istri
1.      Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30).
2.      Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)).
3.      Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hokum (ayat 2).
4.      Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
5.      Suami istri menentukan tempat kediaman mereka.
6.      Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia.
7.      Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
8.      Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.

b.    Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan
1.      Timbul harta bawaan dan harta bersama.
2.      Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hokum apapun.
3.      Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hokum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36).

c.    Akibat Perkawinan Terhadap Anak
1.      Kedudukan anak
·         Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42)
·         Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.
1.      Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
·         Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45).
·         Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik.
·         Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya (Pasal 46).
1.      Kekuasaan orang tua
·         Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di bawah kekuasaan orang tua.
·         Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun di luar pengadilan.
·         Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun di luar pengadilan.
·         Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin
·         Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila:
àia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak
àIa berkelakuan buruk sekali

·         Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya.
Sedang yang dimaksud dengan kekuasaan orang tua adalah:
·         Kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu terhadap anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

Isi kekuasaan orang tua adalah:
1.      Kewenangan atas anak-anak baik mengenai pribadi maupun harta kekayaannya.
2.      Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan hokum di dalam maupun di luar pengadilan.
Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari pengesahannya.
Kekuasaan orang tua berakhir apabila:
·         Anak itu dewasa
·         Anak itu kawin
·         Kekuasaan orang tua dicabut

7.      Apa yang menjadi berakhirnya perkawinan?
Jawab:  Putusnya Perkawinan dan Akibatnya.
Mengenai putusnya perkawinan diatur dalam Bab VIII, dengan judul Putus nya Perkawinan Serta Akibatnya, yang terdiri dari pasal 38 sampai dengan pasal 41 UUP Pasal 38 berbunyi Perkawinan dapat putus karena a. kematian, b. perceraian, c. atas keputusan pengadilan.
a.   Putusnya perkawinan karena kematian: Mengenai putusnya perkawinan karena kematian, tidak diatur dalam UUP atau peraturan perundang-undangan lain, hanya yang menyangkut harta peninggalan atau harta warisan dari pasangan perkawinan yang meninggal diatur dalam Hukum Waris.
b.   Putusnya perkawinan karena perceraian: tentang perceraian ini oleh aturan perundang-undangan diatur secara mendetail yaitu dalam UUP sendiri dan peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975.
c.    Putusnya perkawinan karena atas keputusan Pengadilan. Hal ini disebutkan dalam butir c dari pasal 3 UUP. Mengenai hal ini tidak ada penjelasan apa yang dimaksudkan dengan atas keputusan Pengadilan. Sehingga Prof. H. Sardjono, SH mempertanyakan hal ini, antara lain beliau berkata “keputusan Pengadilan sebagai sebab putusnya perkawinan, bagi kami masih merupakan suatu pertanyaan, keputusan pengadilan yang manakah yang dimaksud dalam pasal 38 tersebut, sebab perceraian sebagai sebab putusnya perkawinan sudah dilakukan keputusan pengadilan, sekurang-kurangnya disaksikan oleh pengadilan; jadi pengertian keputusan pengadilan yang dimaksud pasal 38 sebagai sebab putusnya perkawinan mestinya merupakan suatu keputusan pengadilan berisikan lain, masalah ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Pasal 39 ayat 1: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Dari pasal ini telah kelihatan bahwa perceraian itu dipersukar, yaitu hanya dapat terjadi dan dilakukan di depan sidang pengadilan.