Pertanyaan Mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia
1. Apakah
yang di maksud dengan perkawinan?
Jawab
: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.
2. Apa
tujuan perkawinan?
Jawab
: Bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.
3. Apa
yang menjadi syarat sah nya perkawinan?
Jawab : Syarat sahnya suatu perkawinan dalam
KUHPerdata, ialah :
a. Kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-undang,
yaitu bagi laki-laki 18 tahun dan bagi perempuan 15 tahun.
b. Harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak
c. Untuk seorang perempuan yang telah kawin harus lewat 300 hari dahulu setelah
putusnya perkawinan pertama
d. Tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua belah pihak
e.Untuk pihak yang masih dibawah umur harus ada izin dari orangtua atau walinya.
4.
Apa asas
perkawinan?
Jawab:
Ø Asas-asas perkawinan
menurut KUHPerdata,ialah;
a.Asas monogami. Asas ini bersifat absolut/mutlak, tidak dapat
dilanggar.
b.Perkawinan adalah perkawinan perdata sehingga harus dilakukan
di depan pegawai catatan sipil.
cPerkawinan merupakan persetujuan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan di bidang hukum keluarga.
d.Supaya perkawinan sah maka harus memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan undang-undang.
e.Perkawinan mempunyai akibat terhadap hak dan kewajiban suami
dan isteri.
f.Perkawinan menyebabkan pertalian darah.
g.Perkawinan mempunyai akibat di bidang kekayaan suami dan
isteri itu.
Ø Asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974:
a.
Asas Kesepakatan (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974),
yaitu harus ada kata sepakat antara calon suami dan isteri.
b.
Asas monogami (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974). Pada
asasnya, seorang pria hanya boleh memiliki satu isteri dan
seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami, namun ada
perkecualian (Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974), dengan syarat-syarat yang
diatur dalam Pasal 4-5.
c.
Perkawinan bukan semata ikatan lahiriah melainkan juga batiniah.
d.
Supaya sah perkawinan harus memenuhi syarat yang ditentukan
undang-undang (Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974).
e.
Perkawinan mempunyai akibat terhadap pribadi suami dan isteri.
f.
Perkawinan mempunyai akibat terhadap anak/keturunan dari
perkawinan tersebut.
g.
Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta suami dan isteri
tersebut.
5.
Apakah poligami
di perbolehkan?
Jawab : Sebenarnya poligami di
perbolehkan dangan syarat –syarat tertentu seperti yang di jelaskan dibawah ini.
UU No. I/1974 menganut
asas monogamy tidak mutlak. Hal tersebut dapat kita lihat dari isi Pasal 3
sebagai berikut:
1.
Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri. Sedang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2.
Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk
beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan
Ijin pengadilan diberikan kepada seorang suami yang akan
beristri lebih dari satu orang apabila memenuhi syarat fakultatif dan syarat
kumulatif.
Syarat fakultatif adalah syarat yang terdapat dalam pasal 4 ayat
(2) yaitu:
1.
Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
2.
Istri mendapat cacat badan/atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
3.
Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Sedangkan syarat kumulatif terdapat pada pasal 5 ayat (1) yang
menyebutkan:
1.
Adanya perjanjian dari istri/istri-istri
2.
Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
3.
Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anak mereka.
Jadi seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang harus
memenuhi salah satu syarat fakultatif dan semua syarat kumulatif yang telah
ditentukan oleh undang-undang. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga menganut
asas monogamy, tapi monogamynya adalah mutlak. Hal ini dapat disimpulkan dari
pasal 27 dan 28 KUHPerdata yang menyatakan bahwa asas perkawinan adalah
monogamy serta menganut adanya asas kebebasan kata sepakat di antara para calon
suami istri, melarang adanya poligami.
6.
Akibat hukum
perkawinan?
Jawab: Dengan adanya perkawinan akan
menimbulkan akibat baik terhadap suami istri, harta kekayaan maupun anak yang
dilahirkan dalam perkawinan.
a. Akibat Perkawinan
Terhadap Suami istri
1.
Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan
rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30).
2.
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat (Pasal 31 ayat (1)).
3.
Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hokum (ayat
2).
4.
Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
5.
Suami istri menentukan tempat kediaman mereka.
6.
Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati,
saling setia.
7.
Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
sesuai dengan kemampuannya.
8.
Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
b. Akibat Perkawinan
Terhadap Harta Kekayaan
1.
Timbul harta bawaan dan harta bersama.
2.
Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap
harta bawaan untuk melakukan perbuatan hokum apapun.
3.
Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan
perbuatan hokum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36).
c. Akibat Perkawinan
Terhadap Anak
1.
Kedudukan anak
·
Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah
(Pasal 42)
·
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.
1.
Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
·
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya
sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45).
·
Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang
baik.
·
Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam
garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya
(Pasal 46).
1.
Kekuasaan orang tua
·
Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di
bawah kekuasaan orang tua.
·
Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam
maupun di luar pengadilan.
·
Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam
maupun di luar pengadilan.
·
Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau
belum pernah kawin
·
Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila:
àia sangat melalaikan
kewajibannya terhadap anak
àIa berkelakuan buruk
sekali
·
Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban
untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya.
Sedang yang dimaksud dengan kekuasaan orang tua adalah:
·
Kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu terhadap anak yang
belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Isi kekuasaan orang tua adalah:
1.
Kewenangan atas anak-anak baik mengenai pribadi maupun harta
kekayaannya.
2.
Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan hokum
di dalam maupun di luar pengadilan.
Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak
hari pengesahannya.
Kekuasaan orang tua berakhir apabila:
·
Anak itu dewasa
·
Anak itu kawin
·
Kekuasaan orang tua dicabut
7.
Apa yang menjadi
berakhirnya perkawinan?
Jawab: Putusnya Perkawinan dan Akibatnya.
Mengenai putusnya perkawinan diatur dalam Bab VIII,
dengan judul Putus nya Perkawinan Serta Akibatnya, yang terdiri dari pasal 38
sampai dengan pasal 41 UUP Pasal 38 berbunyi Perkawinan dapat putus karena a.
kematian, b. perceraian, c. atas keputusan pengadilan.
a. Putusnya perkawinan karena
kematian: Mengenai putusnya perkawinan karena kematian, tidak diatur dalam UUP
atau peraturan perundang-undangan lain, hanya yang menyangkut harta peninggalan
atau harta warisan dari pasangan perkawinan yang meninggal diatur dalam Hukum
Waris.
b. Putusnya perkawinan karena
perceraian: tentang perceraian ini oleh aturan perundang-undangan diatur secara
mendetail yaitu dalam UUP sendiri dan peraturan pelaksananya yaitu Peraturan
Pemerintah No.9 tahun 1975.
c. Putusnya perkawinan karena
atas keputusan Pengadilan. Hal ini disebutkan dalam butir c dari pasal 3 UUP.
Mengenai hal ini tidak ada penjelasan apa yang dimaksudkan dengan atas
keputusan Pengadilan. Sehingga Prof. H. Sardjono, SH mempertanyakan hal ini,
antara lain beliau berkata “keputusan Pengadilan sebagai sebab putusnya
perkawinan, bagi kami masih merupakan suatu pertanyaan, keputusan pengadilan
yang manakah yang dimaksud dalam pasal 38 tersebut, sebab perceraian sebagai
sebab putusnya perkawinan sudah dilakukan keputusan pengadilan,
sekurang-kurangnya disaksikan oleh pengadilan; jadi pengertian keputusan
pengadilan yang dimaksud pasal 38 sebagai sebab putusnya perkawinan mestinya
merupakan suatu keputusan pengadilan berisikan lain, masalah ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut.
Pasal 39 ayat 1: Perceraian hanya dapat dilakukan di
depan Sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Dari pasal ini telah
kelihatan bahwa perceraian itu dipersukar, yaitu hanya dapat terjadi dan
dilakukan di depan sidang pengadilan.